Sabtu, 21 September 2013
Biografi Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo
Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo (Cipto Mangunkusumo) lahir di Pecagakan, Jepara, 1886. Menikah dengan keturunan Belanda Marie Vogel tahun 1920. Sebelum bergabung dalam Indiche Partij beliau berprofesi sebagai guru bahasa melayu di Ambarawa, menjadi kepala sekolah dan menjadi pembantu administrasi di Kota Semarang. Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo mengenyam pendidikan tinggi di STOVIA I (sekolah dokter yang didirikan Belanda). Selama masa kuliah ia terkenal dengan pribadi yang jujur, berpikiran tajam, kritis dan rajin. Sikap kritis beliau diwujudkan dalam berbagai pidato, opini dan tulisan-tulisannya.
Feodalisme yang beliau tentang sejak 1913 hingga kini masih subur di negeri ini. Otonomi daerah menyebabkan Kabupaten, provinsi di Indonesia menjadi kerajaan-kerajaan. Gubernur, para bupati menjadi raja-raja di daerah masing-masing. Mereka akan berjuang dengan menghalalkan segala cara agar kroni, keluarga, anak-anaknya mendapat tahta pimpinan daerah. Tidak sedikit bupati-bupati, pejabat-pejabat penting daerah adalah keluarga sang gubernur sendiri tanpa melihat kemampuan dan profesionalisme. Jual beli kursi jabatan bukan rahasia lagi. Jual beli suara dalam pilkada adalah biasa. Jual-beli tender proyek pembangunan adalah lumrah. Biasanya selalu dimenangkan para kroni-kroni sang raja.
Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo adalah satu dari tokoh tiga serangkai yang berjasa besar dalam dunia pendidikan di Indonesia sekaligus sebagai tokoh pergerakan nasional. Pergerakan Nasional diilhami dari poltik etis yang diterapkan Belanda meliputi bidang edukasi, irigasi dan migrasi pada masa gubernur Van Deventer. Dalam bidang edukasi pemerintah kolonial Belanda memberikan akses kepada warga pribumi untuk mengenyam pendidikan. Belanda mendirikan sekolah-sekolah seperti HIS, MULO, GBS dan STOVIA.
Dampaknya di Hindia Belanda (Indonesia saat itu) muncullah golongan terpelajar seperti Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Ki Hajar Dewantara dan banyak lagi tokoh lainnya. Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo bersama Ernest Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara pada masa perjuangan mendirikan organisasi Indische Partij, suatu organisasi politik yang pertama kali mencetuskan ide pemerintahan sendiri di tangan penduduk setempat, bukan oleh Belanda. Pada tahun 1913 ia dan kedua rekannya diasingkan oleh pemerintah kolonial ke Belanda akibat tulisan dan aktivitas politiknya, dan baru kembali 1917.
Pendidikan
Ketika menempuh pendidikan di Stovia, Tjipto mulai memperlihatkan sikap yang berbeda dari teman-temannya. Teman-teman dan guru-gurunya menilai Tjipto sebagai pribadi yang jujur, berpikiran tajam dan rajin. “Een begaafd leerling”, atau murid yang berbakat adalah julukan yang diberikan oleh gurunya kepada Tjipto. Di Stovia Tjipto juga mengalami perpecahan antara dirinya dan lingkungan sekolahnya. Berbeda dengan teman-temannya yang suka pesta dan bermain bola sodok, Tjipto lebih suka menghadiri ceramah-ceramah, baca buku dan bermain catur. Penampilannya pada acara khusus, tergolong eksentrik, ia senantiasa memakai surjan dengan bahan lurik dan merokok kemenyan. Ketidakpuasan terhadap lingkungan sekelilingnya, senantiasan menjadi topik pidatonya. Baginya, Stovia adalah tempat untuk menemukan dirinya, dalam hal kebebasan berpikir, lepas dari tradisi keluarga yang kuat, dan berkenalan dengan lingkungan baru yang diskriminatif.
Beberapa Peraturan-peraturan di Stovia menimbulkan ketidak puasan pada dirnya, seperti semua mahasiswa Jawa dan Sumatra yang bukan Kristen diharuskan memakai pakaian tadisional bila sedang berada di sekolah. Bagi Tjipto, peraturan berpakaian di Stovia merupakan perwujudan politik kolonial yang arogan dan melestarikan feodalisme. Pakaian Barat hanya boleh dipakai dalam hirarki administrasi kolonial, yaitu oleh pribumi yang berpangkat bupati. Masyarakat pribumi dari wedana ke bawah dan yang tidak bekerja pada pemerintahan, dilarang memakai pakaian Barat. Implikasi dari kebiasaan ini, rakyat cenderung untuk tidak menghargai dan menghormati masyarakat pribumi yang memakai pakaian tradisional.
Keadaan ini senantiasa digambarkannya melalui De Locomotief, pers kolonial yang sangat progresif pada waktu itu, di samping Bataviaasch Nieuwsblad. Sejak tahun 1907 Tjipto sudah menulis di harian De Locomotief. Tulisannya berisi kritikan, dan menentang kondisi keadaan masyarakat yang dianggapnya tidak sehat. Tjipto sering mengkritik hubungan feodal maupun kolonial yang dianggapnya sebagai sumber penderitaan rakyat. Dalam sistem feodal terjadi kepincangan-kepincangan dalam masyarakat. Rakyat umumnya terbatas ruang gerak dan aktivitasnya, sebab banyak kesempatan yang tertutup bagi mereka. Keturunanlah yang menentukan nasib seseorang, bukan keahlian atau kesanggupan. Seorang anak “biasa” akan tetap tinggal terbelakang dari anak bupati atau kaum ningrat lainnya.
Kondisi kolonial lainnya yang ditentang oleh Tjipto adalah diskriminasi ras. Sebagai contoh, orang Eropa menerima gaji yang lebih tinggi dari orang pribumi untuk suatu pekerjaan yang sama. Diskriminasi membawa perbedaan dalam berbagai bidang misalnya, peradilan, perbedaan pajak, kewajiban kerja rodi dan kerja desa. Dalam bidang pemerintahan, politik, ekonomi dan sosial, bangsa Indonesia menghadapi garis batas warna. Tidak semua jabatan negeri terbuka bagi bangsa Indonesia. Demikian juga dalam perdagangan, bangsa Indonesia tidak mendapat kesempatan berdagang secara besar-besaran, tidak sembarang anak Indonesia dapat bersekolah di sekolah Eropa, tidak ada orang Indonesia yang berani masuk kamar bola dan sociteit. Semua diukur berdasarkan warna kulit.
Tulisan-tulisannya di harian De Locomotief, mengakibatkan Tjipto sering mendapat teguran dan peringatan dari pemerintah. Untuk mempertahankan kebebasan dalam berpendapat Tjipto kemudian keluar dari dinas pemerintah dengan konsekuensi mengembalikan sejumlah uang ikatan dinasnya yang tidak sedikit.
Selain dalam bentuk tulisan, Tjipto juga sering melancarkan protes dengan bertingkah melawan arus. Misalnya larangan memasuki sociteit bagi bangsa Indonesia tidak diindahkannya. Dengan pakaian khas yakni kain batik dan jas lurik, ia masuk ke sebuah sociteit yang penuh dengan orang-orang Eropa. Tjipto kemudian duduk dengan kaki dijulurkan, hal itu mengundang kegaduhan di sociteit. Ketika seorang opas (penjaga) mencoba mengusir Tjipto untuk keluar dari gedung, dengan lantangnya Tjipto memaki-maki sang opas serta orang-orang berada di dekatnya dengan mempergunakan bahasa Belanda. Kewibawaan Tjipto dan penggunaan bahasa Belandanya yang fasih membuat orang-orang Eropa terperangah.
Budi Utomo
Terbentuknya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 disambut baik Tjipto sebagai bentuk kesadaran pribumi akan dirinya. Pada kongres pertama Budi Utomo di Yogyakarta, jatidiri politik Tjipto semakin nampak. Walaupun kongres diadakan untuk memajukan perkembangan yang serasi bagi orang Jawa, namun pada kenyataannya terjadi keretakan antara kaum konservatif dan kaum progesif yang diwakili oleh golongan muda. Keretakan ini sangat ironis mengawali suatu perpecahan ideology yang terbuka bagi orang Jawa.
Dalam kongres yang pertama terjadi perpecahan antara Tjipto dan Radjiman. Tjipto menginginkan Budi Utomo sebagai organisasi politik yang harus bergerak secara demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Organisasi ini harus menjadi pimpinan bagi rakyat dan jangan mencari hubungan dengan atasan, bupati dan pegawai tinggi lainnya. Sedangkan Radjiman ingin menjadikan Budi Utomo sebagai suatu gerakan kebudayaan yang bersifat Jawa.
Tjipto tidak menolak kebudayaan Jawa, tetapi yang ia tolak adalah kebudayaan keraton yang feodalis. Tjipto mengemukakan bahwa sebelum persoalan kebudayaan dapat dipecahan, terlebih dahulu diselesaikan masalah politik. Pernyataan-pernyataan Tjipto bagi jamannya dianggap radikal. Gagasan-gagasan Tjipto menunjukkan rasionalitasnya yang tinggi, serta analisis yang tajam dengan jangkauan masa depan, belum mendapat tanggapan luas. Untuk membuka jalan bagi timbulnya persatuan di antara seluruh rakyat di Hindia Belanda yang mempunyai nasib sama di bawah kekuasaan asing, ia tidak dapat dicapai dengan menganjurkan kebangkitan kehidupan Jawa. Sumber keterbelakangan rakyat adalah penjajahan dan feodalisme.
Meskipun diangkat sebagai pengurus Budi Utomo, Tjipto akhirnya mengundurkan diri dari Budi Utomo yang dianggap tidak mewakili aspirasinya. Sepeninggal Tjipto tidak ada lagi perdebatan dalam Budi Utomo akan tetapi Budi Utomo kehilangan kekuatan progesifnya.
Setelah mengundurkan diri dari Budi Utomo, Tjipto membuka praktik dokter di Solo. Meskipun demikian, Tjipto tidak meninggalkan dunia politik sama sekali. Di sela-sela kesibukkannya melayani pasiennya, Tjipto mendirikan Raden Ajeng Kartini Klub yang bertujuan memperbaiki nasib rakyat. Perhatiannya pada politik semakin menjadi-jadi setelah dia bertemu dengan Douwes Dekker yang tengah berpropaganda untuk mendirikan Indische Partij. Tjipto melihat Douwes Dekker sebagai kawan seperjuangan. Kerjasama dengan Douwes Dekker telah memberinya kesempatan untuk melaksanakan cita-citanya, yakni gerakan politik bagi seluruh rakyat Hindia Belanda. Bagi Tjipto Indische Partij merupakan upaya mulia mewakili kepentngan-kepentingan semua penduduk Hindia Belanda, tidak memandang suku, golongan, dan agama.
Pada tahun 1912 Tjipto pindah dari Solo ke Bandung, dengan dalih agar dekat dengan Douwes Dekker. Ia kemudian menjadi anggota redaksi penerbitan harian de Expres dan majalah het Tijdschrijft. Perkenalan antara Tjipto dan Douwes Dekker yang sehaluan itu sebenarnya telah dijalin ketika Douwes Dekker bekerja pada Bataviaasch Nieuwsblad. Douwes Dekker sering berhubungan dengan murid-murid Stovia.
Pada Nopember 1913, Belanda memperingati 100 tahun kemerdekaannya dari Perancis. Peringatan tersebut dirayakan secara besar-besaran, juga di Hindia Belanda. Perayaan tersebut menurut Tjipto sebagai suatu penghinaan terhadap rakyat bumi putera yang sedang dijajah. Tjipto dan Suwardi Suryaningrat kemudian mendirikan suatu komite perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda dengan nama Komite Bumi Putra. Dalam komite tersebut Tjipto dipercaya untuk menjadi ketuanya. Komite tersebut merencanakan akan mengumpulkan uang untuk mengirim telegram kepada Ratu Wihelmina, yang isinya meminta agar pasal pembatasan kegiatan politik dan membentuk parlemen dicabut. Komite Bumi Putra juga membuat selebaran yang bertujuan menyadarkan rakyat bahwa upacara perayaan kemerdekaan Belanda dengan mengerahkan uang dan tenaga rakyat merupakan suatu penghinaan bagi bumi putera.
Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika harian De Express menerbitkan suatu artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Als Ik Nederlands Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Pada hari berikutnya dalam harian De Express Tjipto menulis artikel yang mendukung Suwardi untuk memboikot perayaan kemerdekaan Belanda. Tulisan Tjipto dan Suwardi sangat memukul Pemerintah Hindia Belanda, pada 30 Juli 1913 Tjipto dan Suwardi dipenjarakan, pada 18 Agustus 1913 keluar surat keputusan untuk membuang Tjipto bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker ke Belanda karena kegiatan propaganda anti Belanda dalam Komite Bumi Putera. Selama masa pembuangan di Belanda, bersama Suwardi dan Douwes Dekker, Tjipto tetap melancarkan aksi politiknya dengan melakukan propaganda politik berdasarkan ideologi Indische Partij. Mereka menerbitkan majalah De Indier yang berupaya menyadarkan masyarakat Belanda dan Indonesia yang berada di Belanda akan situasi di tanah jajahan. Majalah De Indier menerbitkan artikel yang menyerang kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda.
Kehadiran tiga pemimpin tersebut di Belanda ternyata telah membawa pengaruh yang cukup berarti terhadap organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda. Indische Vereeniging, pada mulanya adalah perkumpulan sosial mahasiswa Indonesia, sebagai tempat saling memberi informasi tentang tanah airnya. Akan tetapi, kedatangan Tjipto, Suwardi dan Douwes Dekker berdampak pada konsep-konsep baru dalam gerakan organisasi ini. Konsep “Hindia bebas dari Belanda dan pembentukan sebuah negara Hindia yang diperintah rakyatnya sendiri mulai dicanangkan oleh Indische Vereeniging. Pengaruh mereka semakin terasa dengan diterbitkannya jurnal Indische Vereeniging yaitu Hindia Poetra pada 1916.
Pada tahun 1918 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat). Pengangkatan anggota Volksraad dilakukan dengan dua cara. Pertama, calon-calon yang dipilih melalui dewan perwakilan kota, kabupaten dan propinsi. Sedangkan cara yang kedua melalui pengangkatan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur jenderal Van Limburg Stirum mengangkat beberapa tokoh radikal dengan maksud agar Volksraad dapat menampung berbagai aliran sehingga sifat demokratisnya dapat ditonjolkan. Salah seorang tokoh radikal yang diangkat oleh Limburg Stirum adalah Tjipto.
Bagi Tjipto pembentukan Volksraad merupakan suatu kemajuan yang berarti, Tjipto memanfaatkan Volksraad sebagai tempat untuk menyatakan pemikiran dan kritik kepada pemerintah mengenai masalah sosial dan politik. Meskipun Volksraad dianggap Tjipto sebagai suatu kemajuan dalam sistem politik, namun Tjipto tetap menyatakan kritiknya terhadap Volksraad yang dianggapnya sebagai lembaga untuk mempertahankan kekuasaan penjajah dengan kedok demokrasi.
Pada 25 Nopember 1919 Tjipto berpidato di Volksraad, yang isinya mengemukakan persoalan tentang persekongkolan Sunan dan residen dalam menipu rakyat. Tjipto menyatakan bahwa pinjaman 12 gulden dari sunan ternyata harus dibayar rakyat dengan bekerja sedemikian lama di perkebunan yang apabila dikonversi dalam uang ternyata menjadi 28 gulden.
Melihat kenyataan itu, Pemerintah Hindia Belanda menganggap Tjipto sebagai orang yang sangat berbahaya, sehingga Dewan Hindia (Raad van Nederlandsch Indie) pada 15 Oktober 1920 memberi masukan kepada Gubernur Jenderal untuk mengusir Tjipto ke daerah yang tidak berbahasa Jawa. Akan tetapi, pada kenyataannya pembuangan Tjipto ke daerah Jawa, Madura, Aceh, Palembang, Jambi, dan Kalimantan Timur masih tetap membahayakan pemerintah. Oleh sebab itu, Dewan Hindia berdasarkan surat kepada Gubernur Jenderal mengusulkan pengusiran Tjipto ke Kepulauan Timor. Pada tahun itu juga Tjipto dibuang dari daerah yang berbahasa Jawa tetapi masih di pulau Jawa, yaitu ke Bandung dan dilarang keluar kota Bandung. Selama tinggal di Bandung, Tjipto kembali membuka praktik dokter. Selama tiga tahun Tjipto mengabdikan ilmu kedokterannya di Bandung, dengan sepedanya ia masuk keluar kampung untuk mengobati pasien.
Di Bandung, Tjipto dapat bertemu dengan kaum nasionalis yang lebih muda, seperti Sukarno yang pada tahun 1923 membentuk Algemeene Studie Club. Pada tahun 1927 Algemeene Studie Club diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Meskipun Tjipto tidak menjadi anggota resmi dalam Algemeene Studie Club dan PNI, Tjipto tetap diakui sebagai penyumbang pemikiran bagi generasi muda. Misalnya Sukarno dalam suatu wawancara pers pada 1959, ketika ditanya siapa di antara tokoh-tokoh pemimpin Indonesia yang paling banyak memberikan pengaruh kepada pemikiran politiknya, tanpa ragu-ragu Sukarno menyebut Tjipto Mangoenkoesoemo.
Pada akhir tahun 1926 dan tahun 1927 di beberapa tempat di Indo-nesia terjadi pemberontakan komunis. Pemberontakan itu menemui ke-gagalan dan ribuan orang ditangkap atau dibuang karena terlibat di dalamnya. Dalam hal ini Tjipto juga ditangkap dan didakwa turut serta dalam perlawanan terhadap pemerintah. Hal itu disebabkan suatu peristiwa, ketika pada bulan Juli 1927 Tjipto kedatangan tamu seorang militer pribumi yang berpangkat kopral dan seorang kawannya. Kepada Tjipto tamu tersebut mengatakan rencananya untuk melakukan sabotase dengan meledakkan persediaan-persediaan mesiu, tetapi dia bermaksud mengunjungi keluarganya di Jatinegara, Jakarta, terlebih dahulu. Untuk itu dia memerlukan uang untuk biaya perjalanan. Tjipto menasehatkan agar orang itu tidak melakukan tindakan sabotase, dengan alasan kemanusiaan Tjipto kemudian memberikan uangnya sebesar 10 gulden kepada tamunya.
Setelah pemberontakan komunis gagal dan dibongkarnya kasus peledakan gudang mesiu di Bandung, Tjipto dipanggil pemerintah untuk menghadap pengadilan karena dianggap telah memberikan andil dalam membantu anggota komunis dengan memberi uang 10 gulden dan diketemukannya nama-nama kepala pemberontakan dalam daftar tamu Tjipto. Sebagai hukumannya Tjipto kemudian dibuang ke Banda pada tahun 1928.
Dalam pembuangan, penyakit asmanya kambuh. Beberapa kawan Tjipto kemudian mengusulkan kepada pemerintah agar Tjipto dibebaskan. Ketika Tjipto diminta untuk menandatangani suatu perjanjian bahwa dia dapat pulang ke Jawa dengan melepaskan hak politiknya, Tjipto secara tegas mengatakan bahwa lebih baik mati di Banda daripada melepaskan hak politiknya. Tjipto kemudian dialihkan ke Makasar, dan pada tahun 1940 Tjipto dipindahkan ke Sukabumi. Kekerasan hati Tjipto untuk berpolitik dibawa sampai meninggal pada 8 Maret 1943.
Aktivitas, sepak terjang, opini dan perjuangan
1. Beliau menulis di harian De Locomotief yang isinya kritikan dan tentangan kondisi masyarakat feodal yang diciptakan Belanda. Tjipto sering mengkritik hubungan feodal maupun kolonial yang dianggapnya sebagai sumber penderitaan rakyat. Dalam sistem feodal terjadi kepincangan-kepincangan dalam masyarakat. Aktivitas, kemerdekaan berfikir dan gerak masyarakat menjadi sangat terbatas. Faktor keturunan lebih menentukan nasib seseorang daripada kemampuan dan profesionalisme seseorang. Seorang anak “biasa” akan tetap tinggal terbelakang dari anak bupati atau kaum ningrat lainnya.
2. Tjipto juga menentang diskriminasi RAS. Orang Eropa menerima gaji yang lebih tinggi dari orang pribumi pada pekerjaan yang sama. Diskriminasi membawa perbedaan dalam berbagai bidang misalnya, peradilan, perbedaan pajak, kewajiban kerja rodi dan kerja desa. Tidak semua jabatan negeri terbuka bagi bangsa Indonesia. Demikian juga dalam perdagangan, orang Indonesia tidak mendapat kesempatan berdagang secara besar-besaran. Kesempatan untuk sekolah di Eropa juga terbatas pada kaum priyayi.
3. Tulisan-tulisannya di harian De Locomotief, menyebabkan Tjipto sering mendapat peringatan keras dari pemerintah kolonial Belanda. Akhirnya Tjipto keluar dari dinas pemerintah agar lebih bebas berpendapat.
4. Selain dalam bentuk tulisan, Tjipto juga sering melancarkan protes dengan tingkah lakunya. Misalnya larangan memasuki perkumpulan orang-orang Eropa bagi Orang Indonesia tidak digubrisnya. Dengan pakaian khas yakni kain batik dan jas lurik, ia masuk ke sebuah perkumpulan yang penuh dengan orang-orang Eropa. Tjipto kemudian duduk dengan kaki dijulurkan sehingga menimbulkan kegaduhan. Ketika seorang penjaga mengusirnya Tjipto memaki-maki sang penjaga dan orang di dekatnya dengan bahasa Belanda. Kewibawaan Tjipto dan penggunaan bahasa Belandanya yang fasih membuat orang-orang Eropa kaget.
5. Tjipto kemudian aktif dalam pergerakan Budi Utomo namun bersebarangan pendapat dengan Radjiman. Ia mempunyai pandangan Budi Utomo harus bergerak secara demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Budi Utomo harus memfasilitasi aspirasi rakyat dan jangan mencari hubungan dengan atasan, bupati dan pegawai tinggi lainnya. Sedangkan Radjiman ingin menjadikan Budi Utomo sebagai suatu gerakan kebudayaan yang bersifat Jawa yang bersifat moderat terhadap pemerintahan kolonial. Pandangan Tjipto dianggap radikal. Gagasan-gagasan Tjipto serta analisis yang tajam dengan jangkauan masa depan, belum mendapat tanggapan luas.
6. Tjipto akhirnya mengundurkan diri dari Budi Utomo yang dianggap tidak mewakili aspirasinya. Sepeninggal Tjipto tidak ada lagi perdebatan dalam Budi Utomo akan tetapi Budi Utomo kehilangan kekuatan progesifnya.
7. Tjipto kemudian mendirikan Indiche Partij bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker. Organisasi ini bersifat politik, terbuka bagi semua orang dan progresif. Tjipto juga kemudian menjadi anggota redaksi penerbitan harian de Expres dan majalah het Tijdschrijft di Bandung. Pada Bulan Nopember 1913 Indiche Partij melalui harian de Expres dan majalah het Tijdschrijft memboikot peringatan kemerdekaan Belanda dari penjajahan Prancis yang diadakan secara besar-besaran di Hindia Belanda. Peringatan tersebut dianggap sebagai penghinaan terhadap Hindia Belanda sebagai negara terjajah.
8. Tulisan Tjipto dan Suwardi sangat memukul Pemerintah Hindia Belanda, pada 30 Juli 1913 Tjipto dan Suwardi dipenjarakan, pada 18 Agustus 1913 keluar surat keputusan untuk membuang Tjipto bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker ke Belanda karena kegiatan propaganda anti Belanda dalam Komite Bumi Putera. Selama masa pembuangan di Belanda, bersama Suwardi dan Douwes Dekker, Tjipto tetap melancarkan aksi politiknya dengan melakukan propaganda politik berdasarkan ideologi Indische Partij. Mereka menerbitkan majalah De Indier yang berupaya menyadarkan masyarakat Belanda dan Indonesia yang berada di Belanda akan situasi di tanah jajahan. Majalah De Indier menerbitkan artikel yang menyerang kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda.
9. Kehadiran tiga tokoh Indische Partij tersebut di Belanda membawa pengaruh terhadap organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda. Indische Vereeniging, yang pada mulanya hanyalah perkumpulan sosial mahasiswa Indonesia berubah visinya dengan Konsep “Hindia bebas dari Belanda”. Pengaruh mereka semakin terasa dengan diterbitkannya jurnal Indische Vereeniging yaitu Hindia Poetra pada 1916.
10. Tahun 1914 Tjipto kembali ke Jawa dan bergabung dengan perkumpulan yang menggantikan Indische Partij (Indsulinde). Jumlah anggota Insulinde mencapai puncaknya pada Oktober 1919 yang mencapai 40.000 orang. Insulinde di bawah pengaruh kuat Tjipto menjadi partai yang radikal di Hindia Belanda. Pada 9 Juni 1919 Insulinde mengubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP).
11. Pada tahun 1918 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat). Gubernur jenderal Van Limburg Stirum mengangkat beberapa tokoh radikal dengan maksud agar Volksraad dapat menampung berbagai aliran sehingga sifat demokratisnya dapat ditonjolkan. Tjipto salah seorang yang dipilih Limburg Stirum. Tjipto memanfaatkan Volksraad untuk menyatakan pemikiran dan kritik kepada pemerintah mengenai masalah sosial dan politik.
12. Pada 25 Nopember 1919 Tjipto berpidato di Volksraad, isinya mengemukakan persoalan tentang persekongkolan Sunan dan residen dalam menipu rakyat. Tjipto menyatakan bahwa pinjaman 12 gulden dari sunan ternyata harus dibayar rakyat dengan bekerja sedemikian lama di perkebunan yang apabila dikonversi dalam uang ternyata menjadi 28 gulden.
13. Pemerintah Hindia Belanda menganggap Tjipto sebagai orang yang sangat berbahaya dan membuang Tjipto ke daerah Jawa, Madura, Aceh, Palembang, Jambi, dan Kalimantan Timur. Namun Ia tetap dianggap membahayakan pemerintah kolonial. Akhirnya Tjipto dibuang dari daerah yang berbahasa Jawa tetapi masih di pulau Jawa, yaitu ke Bandung dan dilarang keluar kota Bandung. Selama tinggal di Bandung, Tjipto kembali membuka praktek dokter.
14. Di Bandung, Tjipto bertemu Sukarno yang pada tahun 1923 membentuk Algemeene Studie Club. Pada tahun 1927 Algemeene Studie Club diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI).
15. Tjipto kemudian dibuang ke Banda pada tahun 1928 akibat dituduh membantu pemberontakan kaum komunis. Dalam pembuangan, penyakit asmanya kambuh. Beberapa kawan Tjipto kemudian mengusulkan kepada pemerintah agar Tjipto dibebaskan. Ketika Tjipto diminta untuk menandatangani suatu perjanjian bahwa dia dapat pulang ke Jawa dengan melepaskan hak politiknya, Tjipto secara tegas mengatakan bahwa lebih baik mati di Banda daripada melepaskan hak politiknya. Tjipto kemudian dialihkan ke Makasar, dan pada tahun 1940 Tjipto dipindahkan ke Sukabumi. Kekerasan hati Tjipto untuk berpolitik dibawa sampai wafat pada 8 Maret 1943. Ia dimakamkan di TMP Ambarawa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar